Oleh: Ahmad Makki Hasan*)

Undang-Undang No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen sejatinya merupakan langkah awal adanya kebijakan untuk intervensi langsung meningkatkan kualitas kompetensi guru lewat kebijakan keharusan guru memiliki kualifikasi Strata 1 atau D4, dan memiliki sertifikat profesi. Dengan sertifikat profesi ini pula guru berhak mendapatkan tunjangan profesi sebesar 1 bulan gaji pokok guru. Untuk itulah program sertifikasi guru digelar oleh pemerintah dalam bingkai uji sertifikasi bagi para pendidik. Sehingga nantinya semua guru harus memiliki sertifikat sebagai lisensi atau ijin mengajar.

Sudah menjadi suatu ketetapan politik bahwa saat ini pendidik (guru dan dosen) adalah bagian dari pekerjaan profesional, yang berhak mendapatkan hak-hak sekaligus kewajiban secara profesional. Dengan begitu diharapkan, pendidik dapat mengabdikan secara total pada profesinya dan dapat hidup layak dari profesi tersebut.

Program sertifikasi guru ini adalah salah satu terobosan pemerintah dalam bidang pendidikan guna meningkatan mutu pendidikan nasional dan sekaligus peningkatan kesejahteraan bagi guru yang selama ini dirasa teramat rendah. Hal itu pula didasarkan atas asumsi bahwa persoalan peningkatan mutu pendidikan tentu bertolak pada mutu guru. Tanpa adanya peningkatan dari mutu guru itu sendiri jelas kualitas pendidikan di tanah air saat ini tidak akan banyak berubah.

Dalam UU No. 14 tahun 2005 pasal 10 (ayat 1) diatur bahwa guru tidak hanya wajib memiliki kualifikasi akademik namun juga dituntut memiliki empat macam kompetensi. Kompetensi yang harus dimiliki oleh guru adalah kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial dan kompetensi profesional.

Sayangnya, dalam perjalanan pelaksanaan program sertifikasi guru yang ada selama ini, pemerintah menunjukkan ketidak-profesionalnnya. Sejak awal telah banyak celah yang menunjukkan kelemahan program uji sertifikasi yang sedang berlangung hingga saat ini. Sebab banyak prosedur yang dibuat pemerintah yang pada akhirnya juga dilangkai sendiri. Diantaranya ialah mengenai ketentuan lulus atau tidaknya para guru yang mengikuti tahapan program sertifikasi guru ini.

Secara logika dan seharusnya, untuk mendapatkan sertifikat profesi pendidik, guru akan berujung pada dua kenyataan; antara lulus dan tidak lulus. Hal ini untuk memilah mana guru yang memang benar-benar kompeten dan profesional dan mana yang tidak memiliki kompetensi, kepribadian dan profesionalitas sebagaimana yang diharapkan.

Namun, yang terjadi ternyata tidak ada kategori tidak lulus dalam program sertifikasi selama ini. Sebab ujung-ujungnya, semua guru tetap akan mendapat sertifikasi itu. Disinilah salah satu letak konsepsi yang salah fatal dan yang harus segera diluruska. Satu sisi pemerintah sudah menetapan alat ukur kompetensi guru melalui portopolio. Sementara di sisi lain, peraturan yang dibuat juga sangat membuka peluang terjadikan pelemahan terhadap kualitas uji kompetensi pendidik tersebut.

Sebab dalam aturan tentang sertifikasi, bila portopolio yang disusun guru tidak memenuhi standar dan dinyatakan tidak lulu, masih ada peluang besar untuk lulus sertifikasi dengan mengikuti Diklat Profesi Guru. Padahal Diklat Profesi sendiri terhitung singkat dan mudah. Seakan-akan hanya dalam waktu 30 jam Diklat Profesi dianggap cukup untuk melahirkan SDM tenaga pendidik yang kompeten dan profesional.

Mengenai masa kerja, belum tentu guru yang sudah mengajar selama puluhan tahun memiliki kemampuan yang lebih baik dalam proses pembelajaran. Jika mau berlaku adil, guru-guru muda malah jauh lebih banyak yang memiliki metode dan strategi yang lebih bagus. Karena banyak guru yang telah lama mengajar tidak diimbagi dengan adanya pengembangan yang kontinu. Tidak salah ketika mereka seakan ketinggal informasi tentang pendidikan dalam hal proses pembelajaran kontemporer.

Pengembangan kompetensi guru yang ada saat ini seakan masih dilihat dari kaca mata birokrasi dan cenderung meremehkan hal yang bersifat esensial. Sebuah persoalan klasik tentunya bagi para guru di negeri ini. Terbukti hanya untuk pemenuhan portopolio banyak guru yang mengikuti pelatihan-pelatihan dan seminar-seminar dan ketika lulus langsung berhenti total.

Tuntutan peningakatan mutu pendidikan adalah suatu hal yang niscaya dan tidak dapat ditawar-tawar lagi. Sedangkan guru, dimanapun juga dan bagaimanapun juga tetap memiliki kontribusi dan tanggung jawab mendidik anak bangsa. Namun, jangan sampai upaya peningkatan mutu pendidikan yang dimulai dari peningkatan mutu guru dengan program sertifikasi guru menjadi momok tersendiri dalam dunia pendidikan kita. Kondisi riil di lapangan selama ini membuktikkan tidak banyak berubah dari sebelumnya. Bahkan kesejahteraan guru pun juga tidak beranjak naik sedikitpun sebagaimana yang diharapkan selama ini.

Pelaksanaan uji sertifikasi bagi guru dalam jabatan perlu segera dibenahi supaya tidak merugikan hak-hak bukan hanya bagi para pendidik namun yang lebih mengkhawatirkan adalah merugikan hak-hak peserta didik itu sendiri. Karena itu, pemerintah perlu memperbaiki kinerja penyelenggaraan uji sertifikasi guru secara efektif dan efisien. Sehingga sekitar 2,7 juta guru di seluruh Indonesia benar-benar dapat menjadi guru profesional pada 2015 sebagaimana yang telah menjadi harapan bersama. Pembenahan untuk uji sertifikasi guru ini perlu dilakukan mulai dari pemerintah, lembaga pendidik dan tenaga kependidikan atau LPTK yang menilai portofolio guru hingga guru itu sendiri.

Apalagi persyaratan sertifikasi guru pada tahun 2009 ini akan banyak mengalami perubahan dibandingkan tahun-tahun yang lalu. Perubahan persyaratan sertifikasi itu diantaranya adalah guru yang berusia diatas 50 tahun meski guru tersebut belum memiliki S-1 dan D4, guru yang sudah golongan 4-C dan guru yang sudah bergelar S-2 dengan minimal sudah 4-B mendapat layanan khusus dan diprioritaskan untuk tidak mengatakan lulus secara otomatis dan hanya cukup menunggu giliran saja. Perubahan yang jika dicermati kembali belum tentu akan lebih baik dari yang ada sebelumnya.

Sebab program sertifikasi guru yang bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional, ternyata tidak bisa maksimal hanya dengan uji sertifikasi seperti yang selama ini sedang berlangsung. Selain itu sebanyak ribuan tenaga pendidik yang telah lulus sertifikasi selama ini dibuat harus terus menunggu untuk mendapat gilirian menerima tunjangan profesi pendidik (TPP) sebagaimana yang telah dijanjikan pemerintah sebelumnya. Jika demikian kenyataannya, bukan lebih baik jika program sertifikasi guru dihentikan saja?

Bila tidak, kucuran anggaran sebesar berapapun untuk peningkatan kualitas pendidikan di tanah air untuk mewujudkan pendidikan yang bermutu akan sia-sia belaka. Dan kalau memang pemerintah berniat meningkatan gaji guru sebenarnya dapat saja langsung dilakukan tanpa berdalih dengan program “spektakuler” seperti program uji setifikasi yang ruwet dan bertele-tele ini. Bisa jadi malah program yang merupakan amanah UU Guru dan Dosen ini berpotensi menjadi lahan manis dalam ajang korupsi. Mengingat jumlah guru yang banyak dan besarnya dana yang disediakan tidak menutup kemungkinan akan membuka peluang untuk adanya praktek-praktek KKN.

*) Ahmad Makki Hasan,
Mahasiswa Program Pascasarjana UIN Malang dan
Badan Perkerja MP3 (Masyarakat Peduli Pelayanan Publik).